Sejarah Terbentuknya Jero Bandesa dan Kepemimpinan Adat di Desa Bugbug

 

SEJARAH TERBENTUKNYA JERO BANDESA DAN KEPEMIMPINAN ADAT DI DESA BUGBUG

Desa Adat Bugbug memiliki jejak sejarah yang panjang dan kompleks, terutama dalam hal struktur kepemimpinan. Banyak krama yang bertanya-tanya tentang asal-usul Jero Bandesa, peran mereka dalam adat, serta kapan dimulainya kepemimpinan dari keluarga Jero Kauhan. Untuk menjawab hal itu, penting bagi kita menelusuri kembali perjalanan sejarah desa ini sejak akhir abad ke-19, ketika dua tokoh penting dari luar Bugbug datang dan mulai membentuk sistem kepemimpinan yang masih terasa pengaruhnya hingga hari ini.

KEDATANGAN JERO KAUHAN DAN JERO KANGINAN KE DESA BUGBUG

Sekitar tahun 1890, dua utusan kerajaan besar di Bali datang ke Desa Bugbug: I Nyoman Taun (jero kauhan) yang merupakan utusan dari Raja Klungkung, dan I Nyoman Lintar (Jero Kanginan) sebagai utusan dari Raja Karangasem. Kedatangan mereka merupakan bagian dari dinamika politik antar-kerajaan di Bali saat itu. I Nyoman Taun mengambil alih kepemimpinan di Desa Adat Bugbug atas ekspansi kekuasaan Kerajaan Klungkung yang bertujuan menekan dominasi Raja Karangasem di wilayah timur Bali. Setelah menetap di Bugbug, I Nyoman Taun yang kemudian dikenal sebagai Jero Nyoman Lingsir menikah dan memiliki beberapa istri serta beberapa anak yang kelak dikenal sebagai Jero Kauhan. Setelah wafatnya Jero Nyoman Lingsir, tongkat kepemimpinan desa diwariskan kepada putranya, I Nyoman Desa Mas yang juga dikenal sebagai Jero Nyoman Pasek  menjabat sebagai Kelihan Desa Adat Bugbug.

DINAMIKA KEPEMIMPINAN DI TAHUN 1970 an

Sekitar tahun 1970, terjadi perubahan besar dalam kepemimpinan. Setelah 5 tahun menjabat, I Nyoman Desa Mas digantikan oleh I Nyoman Gede Suriadnya (Jero Kanginan) memiliki keterampilan kepemimpinan yang kuat untuk mengelola sumber daya dan memimpin masyarakatnya menuju tujuan yang maju, amun, karena tekanan sosial-politik yang sistematis. Ia ‘didorong secara halus’ untuk mengundurkan diri di tengah kondisi masyarakat yang saat itu masih terbatas pendidikannya dan mudah dipengaruhi oleh opini tertentu. Diduga kuat, tekanan ini berasal dari kalangan intelektual yang memiliki ambisi untuk mengambil alih posisi strategis di desa.

Kepemimpinan kemudian dilanjutkan oleh I Made Katong dari Banjar Baruna. Namun, setelah 6 bulan menjabat beliau pun mengalami nasib serupa akhirnya pada tahun yang sama, I Nyoman Desa Mas kembali menjabat sebagai Kelihan Desa Adat Bugbug, sekaligus merangkap jabatan sebagai Prebekel/Lurah.

Setelah selama 17 tahun menjabat, tragisnya, pada tahun 1988, I Nyoman Desa Mas meninggal dunia akibat kecelakaan sepeda motor, mengakhiri era kepemimpinannya yang panjang dan berpengaruh.

AWAL MULA ISTILAH “JERO BANDESA” DI DESA BUGBUG

Setelah terbentuknya Majelis Desa Adat (MDA) Bali pada sekitar tahun 1988, seluruh desa adat di Bali diwajibkan memiliki awig-awig sebagai dasar hukum adat. Desa Adat Bugbug pun menyusun awig-awig yang disahkan pada tahun 1990, dengan tim penyusun yang diketuai oleh Bapak Wayan Wirna. Mengadopsi sistim pemerintahan dari negara Inggris, dalam awig-awig desa adat Bugbug tersebut ditetapkan bahwa terdapat dua pucuk kepemimpinan adat:

1.            Jero Bandesa, yang dijabat secara turun-temurun oleh keturunan trah Bendesa Manik Mas desa Bugbug dan bertugas untuk ngaricikang aci-aci (mengurus hal-hal sakral/ritual),

2.            Kelihan Desa Adat, yang bisa dijabat oleh krama Bugbug yang dipilih oleh krama desa melalui proses pengadegan yang berlaku setiap 5 tahun dan bertugas dalam pemerintahan harian desa manut Tri Hita Karana.

Melalui musyawarah mufakat, terpilihlah I Wayan Sasih (adik dari I Nyoman Pasek) sebagai Jero Bandesa, dan I Wayan Mas Suyasa (putra I Nyoman Pasek) sebagai Kelihan Desa Adat Bugbug sekaligus sebagai Prebekel. Setelah beberapa tahun, I Wayan Sasih meninggal dunia sehingga posisi Jero Bandesa dijabat oleh adiknya, I Nyoman Jelantik, sementara posisi Prebekel digantikan oleh I Wayan Astawa (adik tiri I Wayan Mas Suyasa). I Wayan Mas Suyasa tetap menjabat sebagai Kelihan hingga tahun 2020, menjadikannya salah satu pemimpin terlama dengan masa jabatan sekitar 30 tahun.

ERA BARU DAN TANTANGAN KEPEMIMPINAN MODERN

Pada tahun 2020, tongkat estafet kepemimpinan diberikan kepada I Nyoman Purwa Ngurah Arsana, putra dari I Nyoman Gede (Jero Kanginan). Ia membawa semangat baru dan membentuk prajuru dengan visi dan misi yang relevan dengan zaman. Namun, sejarah seakan terulang. Seperti ayahnya yang mengalami tekanan pada tahun 1971, Ngurah Arsana juga menghadapi provokasi, intimidasi, dan tekanan sosial-politik agar ia mengundurkan diri. Bedanya, masyarakat Bugbug eranya telah jauh lebih terdidik dan kritis, sehingga tidak mudah lagi dimanfaatkan oleh kepentingan tertentu.


 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kelihan Desa Adat Bugbug, Periode 2020 - 2025, Jero Nyoman Purwa Ngurah Arsana

Membuka Tirai Sejarah Desa

Gapura Desa Bugbug: Monumen Kebebasan dari Bayang-Bayang Dinasti